Berhati-hatilah
dalam menafsirkan al-Quran dengan pendekatan sains dan teknologi.
Kalaupun ingin, maka penafsiran itu, berdasarkan pendapat Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, harus melalui tiga tahapan: Pertama, keharusan mengetahui prinsip-prinsip dasar ilmu tersebut. Kedua, perhatian seorang spesialis ilmu pengetahuan pada apa yang tidak menjadi perhatian orang lain. Ketiga,
syarat penggunaan perangkat ilmu pengetahuan dalam tafsir: a) Berpegang
pada fakta ilmiah bukan hipotesis. b) Menjauhi pemahaman diri dalam
memahami nash. c) Menghindari untuk menuduh umat seluruhnya bodoh.
(Lihat Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3).
Ini merupakan syarat-syarat yang cukup ketat. Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan di atas, alangkah lebih baiknya tidak melakukannya. Karena sains, kita ketahui sendiri selalu mengalami perubahan-perubahan, sedangkan al-Quran bersifat konstan. Jika kita menggunakan sains sebagai "pisau bedah" al-Quran, mungkin pada saat itu sang penafsir "benar", tapi seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, yang "benar" bisa jadi "salah". Ini berbahaya. Orang yang sudah di doktrin dengan cara seperti ini tentu akan melawan sains, karena merasa bertentangan dengan al-Quran. Atau sebut saja orang yang mengatakan, apa yang dikatakan ilmuwan itu sudah ada dalam al-Quran surat sekian dan ayat sekian. Ini sama saja dengan pemikiran orang yang malas untuk berpikir lebih mendalam lagi.
Dalam bukunya yang berjudul Fatwa-Fatwa Kontemporer
Jilid 2, hal. 219-241, Dr. Yusuf al-Qaradhawi membeberkan salah satu
kesalahan fatal dalam menafsirkan Al Quran dengan pendekatan sains dan
teknologi. Beliau mengkritik habis-habisan seorang ahli matematika
Mesir, Dr. Rasyad Khalifah. Dr. Rasyad Khalifah dengan sangat beraninya
membuat kesimpulan bahwa, hari kiamat dapat diperkirakan kedatangannya,
berdasarkan premis-premis dari Al Quran dan hadits Nabi, yang menurut
penelitian Dr. Yusuf Al Qaradhawi sangat tidak sesuai, rancu, tidak
sesuai dengan logika yang benar, dan hadits-haditsnya yang dipergunakan
lemah (dhaif). Artinya Rasyad Khalifah telah mendalilkan dalil yang
seharusnya tidak ia tempatkan di dalamnya.
Dr.
Yusuf al-Qaradhawi menyebut pemikiran Dr. Rasyad Khalifah sebagai
berbahaya, batil, dan bid’ah. Gagasan Rasyad Khalifah dapat menimbulkan
efek domino, yang kemudian hari orang-orang akan ingkar pada sunnah Nabi
SAW, karena disebutkan dalam hadits yang shahih jika Nabi sendiri tidak
mengetahui kapan datangnya hari kiamat. Ketika ditanyakan masalah ini
ke malaikat Jibril, malaikat jibril hanya bisa berkata: yang ditanya
tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Para sahabat-sahabat Nabi pun
ketika ditanya masalah ini, sama-sama menjawab tidak tahu.
Terus
terang, saya jarang mendapatkan tulisan Dr. Yusuf al-Qaradhawi bernada
keras dan marah, seperti yang terjadi pada kasus Dr. Rasyad Khalifah
ini. Beliau berkata: "Sebenarnya saya bersikap sangat keras dalam
mengingkari pendapat seperti ini, karena ia merupakan wujud keberanian
menentang kitab Allah dan membuka pintu bagi orang-orang yang suka
mempermainkannya, yang mengubah kalimah Allah dari tempatnya. Sehingga
jadilah kitab Allah sebagai bahan permainan bagi orang-orang yang
menyukai keanehan-keanehan, dan ayat-ayatnya yang berisi petunjuk yang
abadi. Itu seperti bola yang ditendang dan dilemparkan ke sana ke mari
oleh mereka yang mempermainkannya." (Hal. 241).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar